Beranda | Artikel
Antara Rasa Takut (Khauf) dan Harap (Raja)
Kamis, 28 Oktober 2021

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah mazhab ahlus sunnah wal jamaah dalam masalah raja’ (berharap rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala, pent.) dan khauf (sikap takut dari hukuman dan makar Allah Ta’ala, pent.)?

Jawaban:

Para ulama berselisih pendapat tentang apakah seseorang lebih mendahulukan sikap raja’ atau khauf, menjadi beberapa pendapat.

Imam Ahmad Rahimahullah berkata,

“Hendaknya rasa takut dan harapnya itu menjadi satu kesatuan. Maka (seseorang) tidak lebih memenangkan khauf dan juga tidak lebih memenangkan raja’” (Lihat Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Al-Fataawa, 1: 147).

Beliau Rahimahullah juga berkata,

“Siapa saja yang lebih memenangkan salah satunya, dia akan binasa.”

Hal ini karena siapa saja yang lebih memenangkan raja’, dia akan merasa aman dari makar Allah Ta’ala. Dan jika seseorang lebih memenangkan khauf, dia akan terjatuh dalam sikap berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala.

Sebagian ulama Rahimahumullah mengatakan, “Hendaknya seseorang lebih memenangkan raja’ ketika mengerjakan ketaatan, dan lebih memenangkan khauf  ketika ingin berbuat maksiat.”

Hal ini karena jika seseorang hendak melakukan ketaatan, maka dia harus memiliki sikap-sikap yang bisa mendatangkan husnuzan (berprasangka baik bahwa amalnya akan diterima oleh Allah Ta’ala, pent.). Sehingga dalam kondisi seperti ini, dia lebih memenangkan raja’, yaitu berharap amalnya diterima. Sedangkan ketika dia ingin berbuat maksiat, dia lebih memenangkan khauf, supaya dia tidak terperosok dalam maksiat.

Ulama yang lain Rahimahumullah mengatakan, “Hendaknya orang sehat lebih memenangkan sisi khauf. Sedangkan orang sakit hendaknya lebih memenangkan sisi raja’.”

Hal ini karena jika orang sehat lebih memenangkan sisi khauf, dia akan menjauhi maksiat. Sedangkan ketika orang sakit lebih memenangkan sisi raja’ (kemudian meninggal dunia, pent.), dia akan bertemu Allah Ta’ala dalam kondisi husnuzan kepada-Nya.

Adapun pendapatku dalam masalah ini bahwa hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi (keadaaan) seseorang. Kalau dia khawatir (takut) akan menjadi berputus asa dari rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala ketika lebih memenangkan sisi khauf, maka wajib baginya untuk berhenti dan menguatkan sisi raja’.

Adapun kalau dia khawatir akan menjadi merasa aman dari makar Allah Ta’ala ketika lebih memenangkan sisi raja’, maka hendaklah dia berhenti dan lebih memenangkan sisi khauf. Sehingga seseorang itu pada hakikatnya adalah dokter (tabib) untuk dirinya sendiri, jika hatinya masih hidup. Adapun pemilik hati yang mati, yang tidak mengobati penyakit hatinya dan tidak melihat kondisi hatinya, maka dia tidak akan peduli masalah ini.

Baca Juga:

***

@Rumah Kasongan, 15 Rabi’ul awwal 1442/ 22 Oktober 2021

Referensi:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 67-68, pertanyaan no. 22.

Penerjemah: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/69754-antara-khauf-dan-raja.html